Judul
:
Perbandingan Implementasi Polstranas RI pada Orba dan Masa Pasca
Reformasi
(mulai th. 2004 sampai sekarang)
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Indonesia merupakan Negara merdeka dan
berdaulat. Bangsa yang merdeka tentunya akan mengatur urusan dalam
negerinya sendiri. Sedangkan untuk mempertahankan kedaulatan maka Indonesia
perlu melaksanakan strategi politik yang kita kenal dengan Polstranas.
Dalam pelaksanaanya sendiri Polstranas sangat
berhubungan langsung dengan tercapainya tujuan politik nasional. Yaitu sesuai
dengan UUD 1945 yang berbunyi, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Seiring pergantian kepemimpinan, strategi
nasional yang diambil juga berubah menyesuaikan kehendak pemimpin dan tuntutan
kebutuhan nasional pada saat itu. Tercapai atau tidaknya tujuan politik
nasional sangat terpengaruh oleh strategi apa yang diambil. Nantinya akan
mempengaruhi kehidupan warga Negara. Oleh karena itu maka disusunlah makalah
“Perbandingan Implementasi Polstranas RI pada Masa Orba dan Masa Pasca
Reformasi” ini.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang
di atas, maka rumusan masalah yang saya ambil dalam makalah ini adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana
perkembangan polstranas di Indonesia saat ini ?
2. Apa
perbedan polstranas masa orde baru dan masa pasca reformasi ?
3. Bagaimana
peran warga negara dalam mewujudkan Polstranas ?
C. Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui dasar pemikiran penyusunan strategi politik masa orde baru hingga
masa pasca reformasi
2. Mampu
menjabarkan pelaksanaan polstranas
3. Untuk
mengetahui pengertian politik dan stategi nasional di Indonesia
D. Manfaat
/ Signifikasi Penulisan
1. Agar
dapat digunakan sebagai bahan bacaan oleh para pembaca untuk menambah
pengetahuan mengenai Polstranas di Indonesia
2. Agar
bangsa Indonesia dapat berperan aktif dalam kaitannya dengan Polstranas
3. Lebih
kritis dalam menanggapi kebijakan-kebijakan politik yang diambil pemerintah
yang berhubungan dengan kebijakan politik dan strategi nasional
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Perkembangan
Polstranas di Indonesia saat ini
Polstranas atau yang
dikenal sebagai politik nasional dan strategi nasional merupakan suatu asas,
haluan, usaha serta tindakan dari negara berikut pengetahuan tentang pembinaan
dan penggunaan kekuatan dan potensi nasional secara totalitas untuk mancapai tujuan
nasional. Polstranas merupakan suatu kebijakan yang disusun berdasarkan
pokok-pokok pikiran yang terdapat dalam sistem manajemen bangsa kita yang
berlandaskan ideology kita yaitu Pancasila, UUD 1945, Wawasan Nusantara dan
Ketahanan Nasional. Dengan berlandaskan hal itulah menjadi acuan dalam
menyusun Polstranas, karena didalamnya terkandung dasar negara, cita-cita
nasional dan konsep strategi bangsa Indonesia dan tujuan yang luhur yaitu
mewujudkan kesatuan segenap aspek kehidupan baik alamiah maupun sosial.
Seiring perkembangan
zaman, ada beberapa periodisasi dalam dunia politik di negara kita, ada orde
lama yang berada dibawah kekuasaan presiden pertama Indonesia, yaitu Bung
Karno, kemudian disusul dengan periodisasi orde baru yang dipimpin oleh Soeharto.Setelah
itu kemudian karena ada beberapa desakan akhirnya muncullah reformasi. Ternyata
akibat perubahan itu berdampak pula pada beberapa tatanan politik Indonesia. Beberapa
hal kini telah berubah dalam sistem ketatanegaraan kita, hal ini menyebabkan perpolitikan
di negara kita juga banyak berubah demikian halnya dengan kebijakan politik
negara kita. Hal ini merupakan imbas dari reformasi yang terjadi pasca
tumbangnya Orde Baru yang telah bertahun-tahun menguasai negara kita. Salah
satunya mungkin kebijakan politik strategi nasional. Seperti kita ketahui
pada masa orde baru negara kita menjalankan politik strategi nasional
berdasarkan GBHN yang dibuat oleh MPR dimana saat itu Presiden merupakan
mandataris MPR, dengan demikian GBHN tersebutlah yang akan menjadi acuan
sebagai politik strategi nasional. Kebijakan ini kemudian berubah dengan adanya
pemilihan langsung oleh rakyat terhadap Presiden dan wakil presiden sejak tahun
2004. GBHN yang pada masa orde baru digunakan sebagai acuan penyusunan polstranas
kini diganti dengan dengan pidato visi dan misi dari Presiden dan Wakil
Presiden yang disampaikan pada saat sidang MPR ketika diangkat secara resmi dan
dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Namun jauh kebelakang dimasa
pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden mereka telah mengungkapkan semua
visi dan misi termasuk janji-janji yang mereka sampaikan. Itu sebabnya secara
langsung mereka bertanggung jawab secara moral terhadap apa yang mereka
sampaikan ketika masa kampanye pemilihan presiden karena kebijakan itu
menyangkut keberlangsungan seluruh rakyat Indonesia terutama karena visi dan
misi yang telah disampaikan merupakan rangkaian kebijakan yang akan
dilaksanakan akan menjadi kebijakan politik strategi nasional selama
pemerintahan berlangsung dalam satu periode. Presiden selaku pemimpin
pemerintahan dalam melaksanakan semua visi dan misinya sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Dasar dibantu oleh para menteri dan para menteri yang diangkat
oleh presiden yang akan melaksanakan kebijakan politik startegi nasional
tersebut.
Dalam penyusunan
polstranas tersebut hendaknya presiden tetap memuat tujuan-tujuan negara
sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dengan
disusunnya politik strategi nasional maka sasaran kebijakan yang akan
dilaksanakan hendaknya menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Pemerintah harus
mengambil langkah-langkah pembinaan terhadap masyarakat dengan mencantumkan
sasaran yang dituju pada masing-masing bidang karena hal ini jelas menyangkut
kelangsungan bangsa kita baik di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya dan
hankam. Pada masa sekarang ini tentunya peranan warga negara akan semakin
tampak dalam hal ini masyarakat sendiri yang akan menjadi pengamat langsung
dalam dijalankannya politik strategi nasional yang telah dibuat dan dilaksanakan
oleh para penyelenggara negara, guna mewujudkan tujuan luhur negara sebagaimana
yang telah disampaikan tadi di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Jika
kita kaji kelebihan dan kekurangan pola penyusunan politik strategi nasional
antara pada orde baru dan setelah reformasi, memang bisa dikatakan jika
penyusunan polstranas pada masa setelah reformasi lebih banyak kelebihan, pada
pola penyusunan poltranas dengan mengambil acuan pada pidato visi & misi
yang disampaikan oleh presiden terpilih di depan anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka akan dapat berjalan secara optimal dan
relatif lebih rasional dalam pencapaiannya. Hal ini dikarenakan, karena
penyusunan polstranas jenis ini merupakan pidato visi dan misi dari presiden
terpilih, jadi presiden sudah bisa meramalkan dan merencanakan apa saja dan
bagaimana program yang akan dijalankan dalam pencapaian tujuan visi dan misi
untuk mewujudkan tujuan negara. Pastinya akan disesuaikan dengan kemampuan dan
keahlian dirinya sebagai seorang presiden, karena memang tidak dapat
dipungkiri, seorang presiden adalah sebagai lokomotif dalam pembangunan dan
pencapaian tujuan sebuah negara. Selain itu, juga seharusnya visi dan misi dari
presiden terpilih memang sudah di sosialisasikan kepada rakyat melalui kampanye
politik sebelum diselenggarakan pemilihan umum (Pemilu). Jadi jika presiden
telah terpilih melalui pesta demokrasi pemilu, memang visi dan misi presiden
terpilih itu memang telah disetujui oleh rakyat, jadi sudah dapat dipastikan
bahwa mayoritas rakyat merestui visi dan misi presiden terpilih itu. Akhirnya
dalam pelaksanaan pada masa kerja presiden periode itu akan lebih terjaga
stabilitasnya.
B.
Perbedaan Polstranas Masa Orde Baru dan Pasca Reformasi
Bahwa perbedaan paling mencolok dari pola
penyususnan Polstranas antara periode ORBA dan periode pasca reformasi adalah
dari awal pembuatannya. Pada masa ORBA polstranas ditentukan dari GBHN
yang telah dibuat oleh MPR. Ada beberapa
kelemahan dari pola penyusunan politik strategi nasional ini, yang pertama
adalah pola ini dikhawatirkan akan sulit terealisasi. Hal ini disebabkan karena
pada pola ini yaitu mengambil acuan pada Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN) yang dibentuk oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sehingga
kurang memperhatikan seberapa besar kemampuan dari presiden dan keahlian dari
presiden sebagai lokomotif dan garis depan dalam pembangunan dan pencapaian
tujuan negara. Hal inilah yang menyebabkan sulitnya dalam pencapaian tujuan negara.
Kemudian yang kedua dalam pola penyusunan polstranas kali ini rakyat tidak
dilibatkan secara langsung. Tidak seperti pada pola penyusunan polstranas pada
masa setelah orde baru, rakyat bisa ikut memilih visi dan misi apa yang akan
dibawa oleh calon presiden. Akan tetapi pada pola penyusunan polstranas masa
orde baru rakyat hanya terrepresentasi oleh suara dari anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Sehingga dalam perjalanannya dikhawatirkan kestabilan
akan terganggu oleh kekuatan rakyat yang kurang setuju.
Sedangkan pada periode reformasi tepatnya
pada saat pemerintahan SBY polstranas disusun berdasarkan visi dan misi
langsung presiden. Yang membedakannya polstranas era orde baru dan setelah
reformasi ialah road map atau rencana pembangunan negara diubah yaitu GBHN yang
diterapkan saat orde baru yang dipimpin oleh Soeharto digantikan dengan rencana
pembangunan jangka panjangn nasional (RPJPN). Saat pemerintahan Soeharto ,
belia menggunakan strategi pembangunan ekonomi tanpa memikirkan bidang bidang
lain seperti politik, dan sosial sedangkan sekarang masa kepemimpinan SBY ,
tidak memusatkan pada satu bidang saja, melainkan kesemua bidang, juga menyusun
strategi untuk melunasi semua hutang negara yang disebabkan penggunaan strategi
pada masa orde baru. Serta berupaya mengurangi bahkan menghilangkan koruptor
dari kepolitikan Indonesia melalui pendirian negara yaitu KPK.
C.
Peran
Warga Negara Dalam Mewujudkan Polstranas
Warganegara adalah aspek yang dimiliki suatu
negara dalam kancah yang terpenting. Hal tersebut dikarenakan warganegara
adalah aktor mobilitas dari perjalanan suatu negara. Kemanapun dan bagaimanapun
masa depan negara tergantung warganegara yang menentukanya, maka dari itu
warganegara merupakan suatu aspek yang begitu penting dalam negara.
Sesuai dengan pengertian Polstranas yang
dijelaskan sebelumnya, bahwa Polstranas hakikatnya adalah perwujudan upaya yang
dipikirkan sebagai perilaku penjagaan supaya perjalanan suatu negara sesuai
dengan apa yang dirancang dan diharapkan. Sebagai aktor dari itu semua,
warganegara memiliki peranan yang begitu luar biasa dalam hal ini. Peran
warganegara dapat dijelaskan dan difungsikan dalam dasar teori yang dikemukakan
oleh Ki Hajar Dewantara, dan berikut teorinya:
1. Ing
ngarsa sung tuladha;
2. Ing
madya mangun karsa;
3. Tut
wuri handayani.
Ing ngarsa sung tuladha, yaitu
mengandung filosofi dalam konteks kewarganegaraan, seorang warganegara harus
dapat memposisikan dirinya. Dan dalam acuan Ing ngarsa sung
tuladha, seorang warganegara apabila berada didepan harus dapat berdiri
sebagai seorang pemimpin yang dapat memberikan contoh yang baik terhadap yang
dipimpin. Serta dapat menggiring masyarakat serta negara kepada perwujudan
tujuan bersama yang ingin dicapai. Apabila di ansumsikan terhadap Polstranas, Ing
ngarsa sung tuladha ini identik dengan seorang pemimpin atau orang orang
yang berdiri dalam kancah Legislatif (adalah lembaga yang “legislate” atau
membuat undang-undang. Anggota-anggotanya dianggap mewakili rakyat, maka dari
itu badan ini serin dinamakan dewan perwakilan rakayat, nama lain yang sering
dipakai adalah parlemen)(Nur Avita M. A, 2014), Eksekutif (kekuasaan eksekutif
biasanya dipegang oleh badan eksekutif. Negara-negara demokratis badan
eksekutif biasanya terdiri dari kepala negara seperti raja atau presiden,
beserta menteri-menterinya. Badan eksekutif dalam arti luas juga mencakup para
pegawai sipil dan militer. Namun dalam hal ini hanya dipakai dalam arti
sempitnya)(Nur Avita M. A, 2014), dan Yudikatif (suatu studi mengenai kekuasaan
yudikatif sebenarnya lebih bersifat teknis yuridis dan termasuk bidang ilmu
hukum daripada bidang ilmu politik, dan kekuasaan yudikatif erat kaitanya
dengan kekuasaan legislatif dan eksekutif) (Nur Avita M. A, 2014)
Ing madya mangun karsa, yaitu dalam hal ini
mengandung filosofi bahwa masyarakat dalam posisinya yang ing
madya dengan artian di tengah, memberikan gambaran bahwa posisi
warganegara yang berada ditengah berupaya untuk memberi semangat, motivasi, dan
stimulus agar pemimpin dapat mencapai kinerja yang lebih baik (Diky Aprianto,
2014). Sehingga dapat memberikan kekuatan besar dengan posisinya ditengah
dengan mengupayakan kemajuan didepan serta tidak melupakan yang dibelakang atau
dibawah untuk selalu diayomi dan digandengan menuju keinginnan yang dicapai.
Tut wuri handayani, yaitu dalam hal ini
mengandung arti bahwa sebagai warganegara dalam posisi berada di belakang
haruslah selalu berperan aktif untuk memberikan dorongan yang kuat dan arahan
yang mendasar demi terwujudnya suatu tujuan bersama. Dengan dihubungkan pada
Polstranas disini posisi masyarakat yang berada dibelakang ataupun masyarakat
yang pada umumnya dapat memberikan jerih upayanya untuk berjuang bersama
mewujudkan politik dan strategi nasional menuju pembangunan nasional dan
kesatuan bangsa yang kuat dan sesuai dengan gambaran kemauan seluruh
warganegara.
Dari uraian tersebut menyatakan bahwa,
dimanapun dan bagaimanapun keadaan warganegara, tetap dapat
memberikan peran aktif dalam mengkontrol dan ikut serta pada pembangunan
nasional dan pertahanan bangsa sesuai dengan politik dan strategi nasional. Selain
itu, Ki Hajar Dewantara juga mengemukakan suatu sikap kebangsaan yang perlu
diterapkan oleh bangsa indonesia untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dengan
penuh partisipasi dan kesadaran. Berikut adalah uraian ungkapan Ki Hajar
Dewantara mengenai konsep kebangsaan :
1. Rasa
kebangsaan adalah sebagian dari rasa Kebatinan kita manusia, yang hidup dalam
jiwa kita tidak dengan disengaja. Asal mulanya rasa kebangsaan itu timbul dari
rasa diri, yang terbawa dari keadaan perikehidupan kita, lalu menjalar jadi
rasa keluarga, rasa ini terus jadi rasa hidup bersama (rasa sosial). Adapun rasa kebangsaan itu sebagian dari atau
sudah terkandung di dalam arti perkataan rasa hidup bersama-sama itu, sedangkan
adalah kalanya rasa kebangsaan itu berwujud dengan pasti sebagai angan-angan
yang kuat dan mengalahkan segalah perasaan lain-lainnya. Wujudnya rasa kebangsaan
itu ialah dalam umumnya mempersatukan
kepentingan Bangsa dengan kepentingan diri sendiri, nasibnya bangsa dirasakan
sebagai nasibnya sendiri, kehormatan bangsa ialah kehormatan diri, demikianlah
seterusnya.
2. Rasa
Diri, yang menjalar menjadi rasa keluarga dan rasa kebangsaan itu tumbuhnya
selalu bersama-sama dengan tumbuhnya persamaan keperluan dan keadaan, baik yang
lahir, maupun yang batin, ekonomis, dan kulitural, tentang penghidupan dan
kehidupan. Dengan sendirinya terjadilah persamaan adat-istiadat, yang
menimbulkan aturan ketertiban dan keramaian dalam hal perikehidupan bersama (pencaharian,
urusan negeri, bahasa, agama, seni, dan sebagainya).
3. Terjadinya
persatuan rakyat yang bersifat bangsa itu tidak dengan seketika, akan tetapi
lambat laun dengan melalui waktu yang berabad-abad, dalam waktu mana
terbuktilah persatuan perikehidupan yang tersebut di atas itu, peristiwa
bersatunya nilai-nilai kebatinan, yakni tambo, bahasa, seni, agama,
pengetahuan. (Rima Wulandari, 2014)
Diharapkan
dari hal ini dapat memunculkan suatu kesadaran kebangsaan dan nantinya dapat
menggunggah partisipasi apapun dalam penyelenggaraan negara.
BAB
III
ANALISIS KASUS
Setelah
reformasi, praktik korupsi di Indonesia mengalami pergeseran pola. Pada masa
Orde Baru, korupsi bisa dibilang tersentralisasi. Korupsi yang tersentralisasi
ini tak terlepas dari pengelolaan kekuasaan yang juga tersentralisasi. Menurut
Eep Saefulloh Fatah, pemerintah Orde Baru memilih model pengelolaan kekuasaan
tersebut bertujuan untuk menyokong stabilisasi ekonomi dan politik secara
tepat. Stabilisasi politik ini kemudian mengarah pada pembangunan ekonomi
sebagai komando. Sayangnya, tujuan itu tercemar dengan praktik KKN yang
merajalela. Lebih jauh, praktik KKN di zaman Orde Baru adalah relasi
antara bisnis dan politik. Salah satu pendekatannya, menurut Andrew Macintyre,
adalah bersifat patron-klien.
Dari
hubungan tersebut, keuntungan dan kestimewaan diperoleh pebisnis sebagai klien
dari pemerintah. Kebijakan-kebijakan masa Orba terkait ekonomi, perizinan,
sumber daya alam, hanya menguntungkan segelintir pebisnis saja. Nah,
menyejukkannya, sifat korupsi di zaman Orba lebih banyak di dana-dana
non-budgeter, bukan di APBN. Salah satu hal yang menandai era reformasi
kemudian adalah demokratisasi dan desentralisasi. Demokratisasi memiliki tujuan
agar sistem politik dapat lebih terbuka dan demokratis. Sedangkan
desentralisasi memiliki tujuan utama untuk mencegah adanya kekuasaan yang
tersentralisasi yang pada akhirnya akan korup seperti halnya ucapan Lord
Acton, politics tends
to corrupt, absolute power corrupts absolutely.
Nyatanya,
niat mulia untuk mencegah agar korupsi tidak terjadi lagi seperti pada zaman
Seoharto itu belum dapat terwujud. Desentralisasi justru membagi wilayah
korupsi ke daerah-daerah dan demokratisasi menimbulkan biaya politik yang besar
(seperti yang diungkapkan Gamawan Fauzi dalam disertasinya) yang pada akhirnya
menjadi salah satu motif korupsi.
Sampai
saat ini, ada lebih dari 325 Kepala Daerah yang tersangkut kasus korupsi, baik
masih menjadi tersangka maupun sudah menjadi terpidana. Masalah utamanya adalah
undang-undang mengenai keuangan daerah itu sendiri. Dalam hal ini, saya
mencatat kekuasaan seorang kepala daerah terhadap keuangan daerah yang begitu
besarlah yang menjadi daya tarik seseorang ingin menjadi kepala daerah.
Tercatat, sejumlah anggota dewan, mantan menteri, hingga mantan Ketua MPR
berlomba-lomba ingin menjadi kepala daerah. Keuangan Daerah menjadi rawan
penyalahgunaan oleh Kepala Daerah seperti sebuah putusan MK atas kasus sengketa
pilkada Sumatera Selatan yang lalu.
Dalam
putusan yang mengabulkan sebagian tuntutan Herman Deru itu, Alex Noerdin
dinyatakan telah menyalahgunakan dana bansos (57) untuk kepentingan kampanye
sehingga pilkada harus diulang di beberapa kabupaten. Akun 57 ini memang
menjadi dana paling politis terutama di daerah. Nah, anehnya, meski sudah
menjadi putusan MK yang final dan mengikat, penyalahgunaan penyaluran dana itu
tidak cukup menjadi dasar pidana bagi Alex Noerdin yang sampai kini masih
menjabat sebagai Gubernur Sumatra Selatan.
Upaya
untuk mencegah pola korupsi Orba itu pun makin keteteran mana kala pola relasi
bisnis dan politik pun terjadi di masa reformasi. Bahkan, pola korupsi di masa
reformasi bisa dikatakan lebih parah karena dimulai dari hulunya, yakni dari
informasi anggaran dimulai. Isunya, informasi akan adanya proyek A atau proyek
B pada tahun anggaran berikutnya sudah dijual ke rekanan agar ketika lelang
dilakukan, rekanan A atau rekanan B akan mendapatkannya karena memanfaatkan
informasi tersebut. Istilah korupsi politik dalam awal tulisan ini pun akhirnya
menjadi politik korupsi. Politik korupsi menjadi wacana aktual Indonesia dengan
menempatkan kerja politik tidak bisa dilepaskan dari langkah-langkah korupsi
untuk mengeruk uang rakyat. Politik yang seharusnya sebagai upaya untuk
meningkatkan kesejahtaraan rakyat dan sebagai sarana untuk memberantas tindak
pidana korupsi, malah dibuat sebagai sarana untuk merebut dan mempertahankan
kekuasaan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab tanpa memikirkan
masyarakat kecil.
BAB
IV
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
Pemberantasan korupsi
politik sangat diperlukan orang yang kuat dan tegas didukung oleh birokrasi
pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Koruspi politik oleh banyak pakar
dikategorikan sebagai extra
ordinary crime, maka cara-cara pemberantasannya diperlukan startegi
khusus bukan dengan cara-cara konvensional. Apa itu strategi khusus ? Memberi
kewenangan kepada lembaga tertentu agar dapat melacak peluang-peluang yang
menyebabkan orang melakukan korupsi. Bidang yang selama ini menjadi privasi orang,
juga dapat dimasuki oleh lembaga pemberantas korupsi, penyadapan, pelacakan
rekening bank, penggeledahan dll. Selain hal di atas, juga perlunya kontrol
sosial yang dilakukan oleh lembaga-lembaga masyarakat (LSM Ormas
Keagamaan/sosial dll). Lembaga-lembaga tersebut harus diberi akses informasi
yahg benar dari birokrasi agar dapat memantau kinerja pemerintah yang fairness,
transparant dan acoountable. Selain itu, Pemerintah dan jajarannya harus seia
sekata tak ada tolernasi dalam korupsi politik. Dengan kata lain,
pemberantasan korupsi politik harus ada commitmen, dare, courage, dari semua
pihak sehingga pemberantasan tersebut tak setengah hati.
Prestasi
Pemberantasan Korupsi Politik Era Susilo Bambang Yudoyono. Dalam era reformasi,
terlihat ada kemajuan yang mengesankan tentang pemberantasan korupsi politik
secara teoritik. Hal ini artinya, dilihat dari perangkat hukum,
pemberantasan korupsi semakin lengkap. Tetapi dalam praktiknya, pemberantasan
tersebut masih jauh dari harapan. Fakta di depan mata, partai politik menjual
kursi Dewan Perwakilan dengan harga tertentu, selain itu partai politik menjual
jabatan pemerintah tertentu melalui pilkada.
Harus diakui bahwa
sulit memberantas korupsi politik. Untuk memberantas itu diperlukan pimpinan
yang berani, jujur, bersih dan
berwibawa. Namun juga harus diingat bahwa pemberantasan korupsi politik tak
semudah membalik tangan dalam waktu singkat. Standar apa yang digunakan untuk
menakar prestasi pemerintahan SBY ? Secara akademik, ada 4 standar yang
digunakan untuk mengukur prestasi pemerintahan: (1) Keamanan dan
Keselamatan Warganegara, (2) Peningkatan kesejahtreraan sosial dan
ekonomi rakyat, (3) Penegakkan hukum yang konsisten dan Perlindungan terhadap
HAM.
Strategi
memberantas korupsi :
1. Strategi
Preventif
Kasus dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkan
pada hal hal yang menjadi penyebab timbulnya korupsi. Setiap penyebab yang
terindikasi harus dibuat preventifnya, sehingga dapat meminimalkan peluang
untuk melakukan korupsi dan upaya ini melibatkan banyak pihak dalam
pelaksanaannya agar dapat berhasil dan mampu mencegah adanya korupsi.
2. Strategi
Represif
Harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan
diarahkan untuk memberikan sanksi hukum yang setimpal secara tepat dan cepat
kepada pihak pihak yang terlibat dalam korupsi. Dengan dasar pemikiran ini
proses penanganan korupsi sejak dari tahap penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan sampai dengan peradilan perlu dikaji untuk dapat disempurnakan di segala aspeknya. Sehingga dapat dilakukan secara cepat dan tepat.
Langkah-Langkah Memerangi Korupsi
- Monopoli
perlu dibatasi, transparansi perlu diwujudkan, ruang pengambilan keputusan
juga harus dibatasi, dan kemungkinan untuk meminta pertanggung jawaban
baik secara politik maupun hukum perlu diperkuat.
- Pembatasan
dan desentralisasi kekuasaan pusat. Apabila keputusan mengenai pembagian
barang terpusat disatu instansi saja, maka disaat stok persediaan barang
menipis, kesempatan untuk korupsi semakin besar.
- Mekanisme
pengawasan eksternal. Keberhasilan implementasi tanggung jawab politik dan
hukum membutuhkan tanggung jawab politik dan hukum membutuhkan dukungan
dan pengawasan dari orang-orang luar aparat pemerintah.
- Pemberantasan
korupsi harus dilakukan oleh sebuah tim yang secara moral memiliki
komitmen sungguh-sungguh untuk memerangi korupsi.
- Melihat
dan meneliti ulang tentang mekanisme delik dalam KUHP.
- Pemberian
ruang seluas-luasnya bagi partisipasi publik sebagai kontrol atau
pengawasan terhadap penyelenggaraaan pemerintahan dalam pengelolaan dana
publik.
- Magnifikasi
sumpah. Cara kerjanya yaitu acara sumpah adalah sesuatu yang sudah
terlembaga dalam praktek bernegara di seluruh dunia.
BAB
V
DAFTAR PUSTAKA
Komentar
Posting Komentar